Selasa, 02 November 2010

Sistem Demokrasi: Apakah Sesuai Syariah?

Dunia politik adalah dunia yang sarat jargon dan ungkapan yang bernada bombastis, karena memang watak dunia politik adalah bagaimana mengajak dan mengumpulkan pendukung.
Sudah barang tentu sebuah jargon yang diusung tidak selamanya sesuai dengan definisi dan kriteria baku yang dikenal. Namanya juga iklan, biasanya agak bombastis dan tidak selalu seperti apa adanya. Maka kita keliru kalau menilai suatu jargon politik dengan pengertian baku yang ada di buku pelajaran.
Jargon Demokrasi
Dan salah satu jargon yang sekarang ini sedang ngetrend adalah jargon demokrasi. Sehingga semua orang berkata tentang demokrasi. Tapi masing-masing punya pengertian dan maksud yang berbeda. Istilah boleh sama, tapi definisi dan esensi bisa saja berbeda.
Bukankah seorang Soekarno juga mengusung istilah demokrasi? Namun di sisi lain, banyak kalangan yang menilainya juga sangat diktator. Setidaknya untuk kurun dan kalangan tertentu.
Bukankah Soherto juga mengusung istilah demokrasi? Namun semua kita tahu bahwa istilah demokrasi yang dimaksud oleh seorang Soeharto tentu sangat berbeda dengan istilah yang dimaksud oleh Soekarno.
Hasilnya, kita boleh bilang bahwa meski jargon demokrasi itu digunakan semua orang, tapi isi, esensi, makna dan batasannya bisa saja sangat berbeda.
Dan tentunya kita tidak bisa menyamakan istilah demokrasi yang diusung seorang Soekarno dengan demokrasi yang digagas oleh Seoharto. Dan keduanya bisa saja sangat berbeda dengan istilah demokrasi yang kita kenal sebagai penjabaran trias politika yang ada dalam kamus atau buku sejarah.
Mengapa Istilah Demokrasi Laris Manis?
Pertanyaannya adalah: mengapa orang banyak mengusung istilah demokrasi. Semua orang bicara demokrasi namun kenyataan di lapangan justru berbeda. Demokrasi versi A akan 180 derajat berbeda dengan demokrasi versi B.
Jawabannya untuk kurun waktu ini, dengan tsaqafah yang berkembang, dengan tingkat informasi yang modern, istilah demokrasi seolah menjadi sebuah kesepatan buat orang-orang yang ingin melawan dari kediktatoran, kekerasan, tirani, kedzaliman dan kekuasaaan lalim yang absolut.
Mungkin karena dunia Islam sedang terkubur di balik reruntuhan kejayaannya, apalagi kampanye besar-besaran anti Islam yang dilakukan oleh musuh Islam, maka isitlah yang dikenal orang sebagai lawan dari kelaliman dan kediktatoran seolah tidak jatuh pada syariah atau khilafah Islam.
Buktinya, kampanye tentang Islam di berbagai negara Islam malah anjlok dan tidak diterima oleh kalangan muslim sendiri. Agak aneh memang, tapi itulah realitanya.
Partai-partai yang mengusung nama Islam, syariah, apalagi khilafah, sepanjang sejarah Islam di Indonesia tidak banyak dipiih orang. Setidaknya, belum pernah mengantarkan partai itu ke posisi mayoritas yang dipilih rakyat. Tentu dengan beberapa pengecualian, misalnya Masyumi di Indonesia, atau FIS di Aljazair, atau REFAH di Turki.
Kalau pun sempat menang, kemenangan mereka tidak langgeng. Selalu muncul kekuatan lain yang menjatuhkannya.
Tapi ketika sebuah partai Islam mengusung istilah yang mudah dimengerti dan dipahami rakyat, misalnya istilah demokrasi itu, lucunya justru banyak yang mendukung dan menyatakan bergabung.
Logika Ormas dan Orsospol: Berbeda
Di situlah letak perbedaan asasi antara sebuah ormas dan partai. Ormas bisa dijadikan sebuah jamaah kader, namun belum tentu bisa disederajatkan dengan sebuah orsospol.
Ormas memang tidak bicara tentang dukungan dan suara, sebaliknya, sebuah partai, nyawanya ditentukan oleh kuat tidaknya dukungan suara. Maka sebuah partai harus pandai memilih jargon yang sekiranya bisa diterima semua orang. Walau pun 100% partai itu tidak mendukung esensi jargon yang diusungnya, bahkan mungkin malah melakukan hal yang sebaliknya.
Banyak kalangan yang mungkin agak keseleo logika pada titik ini. Mereka ingin sebuah partai Islam dari awal mengusung jargon syariah, khilafah dan lainnya. Padahal partai itu berada di sebuah negara yang rakyat muslimnya masih merasa asing dengan jargon-jargon itu. Mereka lebih akrab dengan istilah demokrasi, kemanusiaan, kerakyatan, keadilan sosial dan sejenisnya, ketimbang jargon syariah dan khilafah yang dianggap agak berbau puritan. Setidaknya, ini menurut mereka.
Kalau kami katakan seperti ini, tentunya bukan berarti kami menentang teman-teman yang banyak mengusung istilah syariah dan khilafah. Ini sekedar sedikit analisa yang bisa saja benar dan bisa tidak. Tapi kalau ditimbang-timbang, pobia terhadap istlah yang berbau Islam, syariah atau khilafah, memang masih sangat bisa kita rasakan. Dan wajar juga kalau ada sebagian aktifis dakwah yang punya logika demikian.
Sehingga, demokrasi dalam pandangan mereka tidak mengapa bila dipakai dan dibawa-bawa. Tentunya yang dimaksud bukan demokrasi yang bertentangan dengan akidah dan syariah Islam.
Demokrasi yang diusung adalah demokrasi yang tetap mengemukakan bahwa kekuasaan tertinggi adanya di tangan Allah. Sedangkan mengapa justru istilah demokrasi yang banyak dikemukakan, karena rakyat yang sebenarnya beragama Islam itu lebih nyaman dengan istilah demokrasi. Hanya karena sekarang ini lagi musim istilah demokrasi, maka tidak ada salahnya menggunakan istilah itu. Toh, apalah arti sebuah nama?
Kalangan Yang Tidak Sependapat
Tentunya logika seperti ini bukan tanpa kritik. Banyak kalangan yang tidak setuju dengan alur berpikir seperti ini.
Maka muncul pula berbagai pendapat yang berbeda serta bernada mempertanyakan.
Misalnya mereka bilang, lho memangnya ada demokrasi yang sesuai akidah dan syariah? Bukankah demokrasi itu sistem buatan kafir? Bukankah demokrasi itu menyebutkan bahwa kekuasaan berada di tangan rakyat, bukan di tangan Allah, berarti demokrasi itu bertentangan dengan akidah Islam. Mengapa harus dicampur-campur dengan Islam? Kalau mau memperjuangkan Islam, mengapa tidak pakai saja isitlah yang datang dari Islam itu sendiri?
Mungkin pertanyaan-pertanyaan model begini yang akan banyak bertaburan, bila kita mengetengahkan wacana tentang demokrasi ala Islam yang banyak diusung partai-partai berbasis umat Islam. Dan memang wilayah ini adalah wilayah ''panas'' penuh perdebatan, yang barangkali memang tiada akhir.
Tentu bukan wadahnya untuk memperdebatkan masalah ini di sini. Karena tentunya semua pihak yang berbeda pendapat akan tetap mempertahankan hujjahnya masing-masing.
Namun setidaknya, untuk belajar ke depan nanti, tidak ada salahnya sekedar berkenalan dengan hujjah-hujah itu tanpa harus berprasangka yang tidak-tidak. Dengan mengusung rasa hormat atas perbedaan pendapat, mengapa kita tidak belajar berkenalan dengan alasan-alasan yang datang dari pihak yang mungkin tidak sesuai atau tidak sejalan dengan pemikiran kita sendiri?
Wallahu a''lam bishshawab

http://www.ustsarwat.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar