Selasa, 02 November 2010

Perbedaan Tentang Batasan Bid'ah

Para ulama memang berbeda pendapat ketika mendefinisikan bid''ah. Definisi yang disodorkan oleh para ulama tentang isitlah ini ada sekian banyak versi.
Hal itu lantaran persepsi mereka atas bid''ah itu memang berbeda-beda. Sebagian mereka ada yang meluaskan pengertiannya hingga mencakup apapun jenis perbuatan yang baru atau diada-adakan, sedangkan yang lainnya menyempitkan batasannya.
Dalam kitab Al-Mausu''ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah (Ensiklopedi Fiqih) jilid 8 keluaran Kementrian Wakaf dan Urusan Ke-Islaman Kuwait halaman 21 disebutkan bahwa secara umum ada dua kecenderungan orang dalam mendefinisikan bid''ah.
Pertama, kecenderungan yang menganggap bahwa ibadah yang tidak terdapat di masa Rasulullah SAW sebagai bid''ah, namun hukumnya tidak selalu sesat atau haram.
Kedua adalah kecenderungan untuk mengatakan bahwa semua bid''ah adalah sesat.
Tapi kalau kita tarik garis umum, paling tidak ada dua kecenderungan ulama dalam masalah ini.
Kelompok Pertama
Mereka yang meluaskan batasan bid''ah itu mengatakan bahwa bid''ah adalah segala yang baru diada-adakan yang tidak ada dalam kitab dan sunnah. Baik dalam perkara ibadah ataupun adat. Baik pada masalah yang baik atau yang buruk.
a. Tokoh
Di antara para ulama yang mewakili kalangan ini antara lain adalah Al-Imam Asy-Syafi''i dan pengikutnya seperti Al-''Izz ibn Abdis Salam, An-Nawawi, Abu Syaamah.
Sedangkan dari kalangan Al-Malikiyah ada Al-Qarafi dan Az-Zarqani.
Dari kalangan Hanafiyah seperti Ibnul Abidin dan dari kalangan Al-Hanabilah adalah Al-Jauzi serta Ibnu Hazm dari kalangan Dzahiri.
Bisa kita nukil pendapat Al-Izz bin Abdis Salam yang mengatakan bahwa bid`ah perbuatan yang tidak terjadi pada masa Rasulullah SAW, yang terbagi menjadi lima hukum. Yaitu bid''ah wajib, bid''ah haram, bid''ah mandub (sunnah), bid''ah makruh dan bid''ah mubah.
b. Contoh
Ada beberapa contoh yang bisa ditampilkan dalam masalah ini, antara lain:
  • Contoh bid''ah wajib misalnya belajar ilmu nahwu yang sangat vital untuk memahami kitabullah dan sunnah rasulnya.
  • Contoh bid''ah haram misalnya pemikiran dan fikrah yang sesat seperti Qadariyah, Jabariyah, Murjiah dan Khawarij.
  • Contoh bid''ah mandub (sunnah) misalnya mendirikan madrasah, membangun jembatan dan juga shalat tarawih berjamaah di satu masjid.
  • Contoh bid''ah makruh misalnya menghias masjid atau mushaf Al-Quran. Sedangkan contoh bid''ah mubah misalnya bersalaman setelah shalat.
c. Dalil
Pendapat bahwa bid''ah terbagi menjadi lima kategori hukum didasarkan kepada dalil-dalil berikut:
Perkataan Umar bin Al-Khattab radhiyallahu anhu tentang shalat tarawih berjamaah di masjid bulan Ramadhan yaitu:
Sebaik-baik bid''ah adalah hal ini.
Ibnu Umar juga menyebut shalat dhuha'' berjamaah di masjid sebagai bid''ah yaitu jenis bid''ah hasanah atau bid''ah yang baik.
Hadits-hadits yang membagi bid''ah menjadi bid''ah hasanah dan bid''ah dhalalah seperti hadits berikut:
Siapa yang mensunnahkan sunnah hasanah maka dia mendapat ganjarannya dan ganjaran orang yang mengamalkannya hingga hari qiyamat. Siapa yang mensunnahkan sunnah sayyi''ah (kejelekan), maka dia mendapatkan ganjaran dan ganjaran orang yang mengamalkannya hingga hari qiyamat.
Kelompok Kedua
Kalangan lain dari ulama mendefinisikan bahwa yang disebut bid''ah itu semuanya adalah sesat, baik yang dalam ibadah maupun adat.
Di antara mereka ada yang mendifiniskan bid''ah itu sebagai sebuah jalan (thariqah) dalam agama yang baru atau tidak ada sebelumnya yang bersifat syar`i dan diniatkan sebagai thariqah syar''iyah.
a. Tokoh
Di antara mereka yang berpendapat demikian antara lain adalah At-Thurthusy, Asy-Syathibi, Imam Asy-Syumunni dan Al-Aini dari kalangan Al-Hanafiyah. Juga ada Al-Baihaqi, Ibnu Hajar Al-`Asqallany serta Ibnu Hajar Al-Haitami dari kalangan Asy-Syafi''iyah. Dan kalangan Al-Hanabilah diwakili oleh Ibnu Rajab dan Ibnu Taymiyah.
b. Contoh
Contohnya adalah orang yang bernazar untuk puasa sambil berdiri di bawah sinar matahari atau tidak memakan jenis makanan tertentu yang halal tanpa sebab yang jelas (seperti vegetarian dan sebangsanya).
Perbuatan seperti itu bid''ah, karena pada hakikatnya menciptakan sebuah ritual agama yang baru, yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah SAW.
c. Dalil
Dalil yang mereka gunakan adalah:
Bahwa Allah SWT telah menurunkan syariat dengan lengkap di antaranya adalah fiman Allah SWT:
... Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni''mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu...(QS. Al-Maidah: 3)
Juga ayat berikut:
dan bahwa adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan, karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa. (QS. Al-An`am: 153)
Setiap ada hadits Rasulullah SAW yang berbicara tentang bid''ah, maka selalu konotasinya adalah keburukan. Misalnya hadits berikut:

Klasifikasi Lain
Selain pembagian di atas maka sebagian ulama juga ada yang membuat klasifikasi yang sedikit berbeda, oleh para ulama bid’ah terbagi dua:
a. Bidah dalam adat kebiasaan (di luar masalah agama) seperti banyaknya penemuan-penemuan baru di bidang tekhnologi, hal tersebut dibolehkan karena asal dalam adat adalah kebolehan (al-ibahah)
b. Bid’ah dalam agama, mengada-ada hal yang baru dalam agama. Hukumnya haram, karena asal dalam beragama adalah at-tauqief (menunggu dalil).
Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang mengerjakan suatu perbuatan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan tersebut akan tertolak” (HR Muslim 1817)
Namun dalam kaitannya dengan bid’ah dalam agama, para ulama ternyata juga masih memilah lagi menjadi dua bagian:
Pertama: Bid’ah Perkataan
Bid''ah ini berkaitan dengan masalah I’tiqod, seperti perkataan Jahmiyah, Mu’tazilah, Rafidhah dan sekte-sekte sesat lainnya. Misalnya pendapat Mu’tazilah yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk Alloh dan bukan firman-Nya.
Kedua: Bid’ah dalam beribadah
Bid''ah ini misalnya melaksanakan suatu ritual ibadah yang tidak ada dalil syar’inya. Bid’ah dalam ibadah ini terbagai beberapa macam:
  • Bid’ah yang terjadi pada asal ibadah, dengan cara mengadakan suatu ritual ibadah baru yang tidak pernah disyariatkan sebelumnya, contohnya adalah melaksanakan shaum seperti yang anaa sebutkan, dengan tujuan agar dapat menguasai ilmu-ilmu tertentu
  • Bid’ah dalam hal menambah Ibadah yang disyariatkan, seperti menambah rakaat sholat shubuh menjadi tiga.
  • Bid’ah dalam bentuk pelaksanaan ibadah yang diwujudkan dengan melaksanakannya di luar aturan yang disyariatkan, contohnya melaksanakan dzikir sambil melakukan gerakan-gerakan tertentu.
  • Bid’ah dengan mengkhususkan waktu tertentu untuk melaksanakan ibadah masyru’. Seperti mengkhususkan pertengahan bulan Sya’ban dengan shaum dan sholat. Karena shaum dan sholat pada asalnya disyari’atkan akan tetapi pengkhususan pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut di waktu-waktu tertentu haruslah berdararkan nash (dalil-dali) dari Allah dan rasul-Nya.
Kesimpulannya, kalau kita lihat banyak kalangan saling menuduh bid''ah kepada saudaranya sendiri, ketahuilah bahwa salah satu penyebabnya adalah kekurang-pahaman terhadap definisi bid''ah yang beragam.
Dan urusan vonis memvonis sebagai pelaku bid''ah ini akan sedikit berkurang seandainya di dalam diri tiap kita muncul kearifan serta keluasan wawasan. Setidaknya, kalau pun tetap diyakini sebagai bid''ah, maka cara yang digunakan untuk memberantas ''bid''ah'' itu tidak boleh dengan cara yang bid''ah juga.
Saling mencaci dan memaki, apalagi sampai melakukan pemboikotan kepada saudara sendiri, tentu sangat bertentangan dengan apa yang pernah diajarkan oleh Rasulullah SAW.
Mana pernah beliau SAW memaki orang lantaran dianggap sebagai pelaku bid''ah? Mana pernah beliau memboikot seseorang lantaran dituduh-tuduh sebagai pelaku bid''ah? Dan mana pernah Rasulullah SAW mengharamkan diri untuk menshalati jenazah seseorang karena dianggap pelaku bid''ah?
Yang haram dishalati di masa nabi SAW adalah orang yang kafir dan murtad. Bukan orang yang dituduh-tuduh sebagai pelaku bid''ah, dengan tolok ukur yang subjektif dan seenak selera sendiri.
Semoga Allah SWT menurukan ilmu, kearifan dan kesantunan pada diri kita semua dalam memperjuangkan syariatnya. Amien
Wallahu a`lam bishshawab

http://www.ustsarwat.com/

Hukum Berziarah di Makam Ulama

Awalnya ziarah kubur adalah perbuatan terlarang, karena para shahabat nabi masih baru saja meninggalkan era penyembahan berhala. Namun sedikit demi sedikit, Rasulullah SAW memandang bahwa sudah tidak ada alasan lagi untuk melarang ziarah kubur, karena para shahabat nabi telah memilihi pondasi aqidah yang sangat kokoh.
Rasulullah SAW bersabda, "Dahulu aku larang kalian untuk berziarah kubur, sekarang silahkan berziarah." (HR Musim)
Dalam riwayat yang lain beliau menyebutkan:
"Siapa yang ingin berziarah kubur, hendaklah berziarah. Karena berziarah kubur itu mengingatkan akhirat."
Maka hukum ziarah kubur pun menjadi boleh setelah dahulu pernah dilarang. Setidaknya ada dua manfaat utama saat kita berziarah kubur.
Manfaat pertama, kita dapat mendoakan orang yang ada di kubur itu. Dan imbasnya adalah doa kita itu akan diganjar dengan pahala yang banyak.
Manfaat kedua, kita jadi dapat mengambil pelajaran bahwa suatu ketika kita pun akan mati juga, dan akan dikubur juga.
Selain itu juga ada manfaat lainnya, bila kubur yang diziarahi itu merupakan kubur tokoh ulama. Misalnya, kita jadi termotivasi untuk mempelajari sejarah dan jalan hidupnya, serta dapat mengenang jasa-jasa mereka.
Di jantung kota Cairo ada kubur Al-Imam Asy-Syafi''i rahimahullah. Bagi turis Indonesia yang melawat ke negeri Piramid itu, ziarah ke kubur Al-Imam Asy-Syafi''i sebenarnya dapat membangkitkan kita mengenal lebih dekat sosok Imam Mazhab itu. Dan rupanya di negeri itu terdapat begitu banyak situs peninggalan bersejarah yang menarik untuk diamati.
Sayangnya, sebagian saudara-saudara kita agak buta sejarah, sehingga ketika datang ke tempat yang punya nilai sejarah, sama sekali tidak nyambung alias tidak dapat mengambil apapun pelajaran. Datang ke kubur para ulama akhirnya sekedar jadi wisata rutin dan ritual, yang miskin dari kajian.
Dan konyolnya, sebagian lainnya malah datang untuk minta ini dan minta itu kepada ruh yang ada di kuburan. Tentu tindakan ini tidak bisa dibenarkan, karena seharusnya kita hanya meminta kepada Allah SWT, bukan kepada kuburan, meski kubur seorang ulama sekalipun.
Lucu memang, bahkan di makam Al-Imam Asy-Syafi''i itu ada orang yang sampai bertawaf mengelilingi kuburnya, seperti layaknya ka''bah. Tindakan ini tentu kurang bisa diterima, karena tidak ada tuntunan dari agama ini tentang ritual tawaf mengelilingi kuburan.
Adapun apa yang dikatakan sebagai wahabi yang anti ziarah kubur, memang para tokoh mereka di gurun pasir sana sejak awal lebih suka menggeneralisir semua masalah yang terkait dengan kuburan. Intinya, tidak ada cerita ziarah kubur, apalagi kubur ulama. Buat mereka, pokoknya haram, titik.
Kita hanya bisa geleng-geleng kepadakalau melihat kelakuan sebagian saudara kita itu. Mungkin dengan berhuznudzdzan kita boleh bilang nbahwa tujuan mereka mungkin baik, yaitu untuk melindungi umat Islam dari bahaya syirik.
Tapi pola gebyah uyah seperti itu ibarat suasana panik akibat kebakaran di suatu kampung, untuk menyelamatkan rumah dari amukan api, kadang rumah itu disemprot dengan air dengan kekuatan penuh, akibatnya memang sih rumah itu tidak terbakar, tapi malah roboh sekalian.
Tindakan menggeneralisir semua ziarah kubur itu haram dan bid''ah, barangkali tepat kalau dilakukan oleh seorang Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhabyang hidup di abad ke delapan belas (1703-1791 M). Tapi suasana abad ke delapan belas tentu amat berbeda dengan suasana abad ke dua puluh dan dua puluh satu.
Selain itu, gaya dakwah yang sikat sana tembak sini mungkin efektif untuk suasana masyarakat padang pasir yang tidak pernah makan sekolahan, namun belum tentu gaya seperti itu bisa dengan mudah diterima oleh bangsa lain yang punya peradaban.
Maka kalau pun kita mau mengambil pelajaran dari siapa pun, kita harus lihat situasi dan kondisi serta latar belakang sosio kultural dari suatu masyarakat. Apa yang cocok di abad 18 belum tentu cocok untuk abad 21. Dan apa yang dirasa efektif untuk para penghuni gurun belum tentu cocok buat para penduduk nusantara. Maka ambillah pelajaran wahai orang yang bisa mengambil pelajaran.
Alih-alih diterima, dakwah wahabiyah di mana-mana hanya memanen perlawanan dan permusuhan serta kebencian. Dan orang-orang yang ziarah kubur tetap masih banyak, bahkan sampai yang masih menyembah kuburan. Sebab dakwah yang tidak simpatik hanya akan membuat orang malah semakin jauh dan anti pati.
Lalu apa solusinya?
Gampang, mereka yang kerjanya ziarah kubur itu kita beri beasiswa agar bisa pada sekolah. Kebodohan lah yang telah mengantarkan mereka untuk menyembah kuburan. Karena itu bukan kuburannya kita ratakan dengan tanah, tapi kebodohannya yang harus diperangi. Caranyadengan mendirikan ribuan sekolah dan kampus di negeri ini, bukan masjid yang bangunannnya megah tapi tidak ada ulamanya.
Wallahu a''alm bishshawab

http://www.ustsarwat.com/

Sistem Demokrasi: Apakah Sesuai Syariah?

Dunia politik adalah dunia yang sarat jargon dan ungkapan yang bernada bombastis, karena memang watak dunia politik adalah bagaimana mengajak dan mengumpulkan pendukung.
Sudah barang tentu sebuah jargon yang diusung tidak selamanya sesuai dengan definisi dan kriteria baku yang dikenal. Namanya juga iklan, biasanya agak bombastis dan tidak selalu seperti apa adanya. Maka kita keliru kalau menilai suatu jargon politik dengan pengertian baku yang ada di buku pelajaran.
Jargon Demokrasi
Dan salah satu jargon yang sekarang ini sedang ngetrend adalah jargon demokrasi. Sehingga semua orang berkata tentang demokrasi. Tapi masing-masing punya pengertian dan maksud yang berbeda. Istilah boleh sama, tapi definisi dan esensi bisa saja berbeda.
Bukankah seorang Soekarno juga mengusung istilah demokrasi? Namun di sisi lain, banyak kalangan yang menilainya juga sangat diktator. Setidaknya untuk kurun dan kalangan tertentu.
Bukankah Soherto juga mengusung istilah demokrasi? Namun semua kita tahu bahwa istilah demokrasi yang dimaksud oleh seorang Soeharto tentu sangat berbeda dengan istilah yang dimaksud oleh Soekarno.
Hasilnya, kita boleh bilang bahwa meski jargon demokrasi itu digunakan semua orang, tapi isi, esensi, makna dan batasannya bisa saja sangat berbeda.
Dan tentunya kita tidak bisa menyamakan istilah demokrasi yang diusung seorang Soekarno dengan demokrasi yang digagas oleh Seoharto. Dan keduanya bisa saja sangat berbeda dengan istilah demokrasi yang kita kenal sebagai penjabaran trias politika yang ada dalam kamus atau buku sejarah.
Mengapa Istilah Demokrasi Laris Manis?
Pertanyaannya adalah: mengapa orang banyak mengusung istilah demokrasi. Semua orang bicara demokrasi namun kenyataan di lapangan justru berbeda. Demokrasi versi A akan 180 derajat berbeda dengan demokrasi versi B.
Jawabannya untuk kurun waktu ini, dengan tsaqafah yang berkembang, dengan tingkat informasi yang modern, istilah demokrasi seolah menjadi sebuah kesepatan buat orang-orang yang ingin melawan dari kediktatoran, kekerasan, tirani, kedzaliman dan kekuasaaan lalim yang absolut.
Mungkin karena dunia Islam sedang terkubur di balik reruntuhan kejayaannya, apalagi kampanye besar-besaran anti Islam yang dilakukan oleh musuh Islam, maka isitlah yang dikenal orang sebagai lawan dari kelaliman dan kediktatoran seolah tidak jatuh pada syariah atau khilafah Islam.
Buktinya, kampanye tentang Islam di berbagai negara Islam malah anjlok dan tidak diterima oleh kalangan muslim sendiri. Agak aneh memang, tapi itulah realitanya.
Partai-partai yang mengusung nama Islam, syariah, apalagi khilafah, sepanjang sejarah Islam di Indonesia tidak banyak dipiih orang. Setidaknya, belum pernah mengantarkan partai itu ke posisi mayoritas yang dipilih rakyat. Tentu dengan beberapa pengecualian, misalnya Masyumi di Indonesia, atau FIS di Aljazair, atau REFAH di Turki.
Kalau pun sempat menang, kemenangan mereka tidak langgeng. Selalu muncul kekuatan lain yang menjatuhkannya.
Tapi ketika sebuah partai Islam mengusung istilah yang mudah dimengerti dan dipahami rakyat, misalnya istilah demokrasi itu, lucunya justru banyak yang mendukung dan menyatakan bergabung.
Logika Ormas dan Orsospol: Berbeda
Di situlah letak perbedaan asasi antara sebuah ormas dan partai. Ormas bisa dijadikan sebuah jamaah kader, namun belum tentu bisa disederajatkan dengan sebuah orsospol.
Ormas memang tidak bicara tentang dukungan dan suara, sebaliknya, sebuah partai, nyawanya ditentukan oleh kuat tidaknya dukungan suara. Maka sebuah partai harus pandai memilih jargon yang sekiranya bisa diterima semua orang. Walau pun 100% partai itu tidak mendukung esensi jargon yang diusungnya, bahkan mungkin malah melakukan hal yang sebaliknya.
Banyak kalangan yang mungkin agak keseleo logika pada titik ini. Mereka ingin sebuah partai Islam dari awal mengusung jargon syariah, khilafah dan lainnya. Padahal partai itu berada di sebuah negara yang rakyat muslimnya masih merasa asing dengan jargon-jargon itu. Mereka lebih akrab dengan istilah demokrasi, kemanusiaan, kerakyatan, keadilan sosial dan sejenisnya, ketimbang jargon syariah dan khilafah yang dianggap agak berbau puritan. Setidaknya, ini menurut mereka.
Kalau kami katakan seperti ini, tentunya bukan berarti kami menentang teman-teman yang banyak mengusung istilah syariah dan khilafah. Ini sekedar sedikit analisa yang bisa saja benar dan bisa tidak. Tapi kalau ditimbang-timbang, pobia terhadap istlah yang berbau Islam, syariah atau khilafah, memang masih sangat bisa kita rasakan. Dan wajar juga kalau ada sebagian aktifis dakwah yang punya logika demikian.
Sehingga, demokrasi dalam pandangan mereka tidak mengapa bila dipakai dan dibawa-bawa. Tentunya yang dimaksud bukan demokrasi yang bertentangan dengan akidah dan syariah Islam.
Demokrasi yang diusung adalah demokrasi yang tetap mengemukakan bahwa kekuasaan tertinggi adanya di tangan Allah. Sedangkan mengapa justru istilah demokrasi yang banyak dikemukakan, karena rakyat yang sebenarnya beragama Islam itu lebih nyaman dengan istilah demokrasi. Hanya karena sekarang ini lagi musim istilah demokrasi, maka tidak ada salahnya menggunakan istilah itu. Toh, apalah arti sebuah nama?
Kalangan Yang Tidak Sependapat
Tentunya logika seperti ini bukan tanpa kritik. Banyak kalangan yang tidak setuju dengan alur berpikir seperti ini.
Maka muncul pula berbagai pendapat yang berbeda serta bernada mempertanyakan.
Misalnya mereka bilang, lho memangnya ada demokrasi yang sesuai akidah dan syariah? Bukankah demokrasi itu sistem buatan kafir? Bukankah demokrasi itu menyebutkan bahwa kekuasaan berada di tangan rakyat, bukan di tangan Allah, berarti demokrasi itu bertentangan dengan akidah Islam. Mengapa harus dicampur-campur dengan Islam? Kalau mau memperjuangkan Islam, mengapa tidak pakai saja isitlah yang datang dari Islam itu sendiri?
Mungkin pertanyaan-pertanyaan model begini yang akan banyak bertaburan, bila kita mengetengahkan wacana tentang demokrasi ala Islam yang banyak diusung partai-partai berbasis umat Islam. Dan memang wilayah ini adalah wilayah ''panas'' penuh perdebatan, yang barangkali memang tiada akhir.
Tentu bukan wadahnya untuk memperdebatkan masalah ini di sini. Karena tentunya semua pihak yang berbeda pendapat akan tetap mempertahankan hujjahnya masing-masing.
Namun setidaknya, untuk belajar ke depan nanti, tidak ada salahnya sekedar berkenalan dengan hujjah-hujah itu tanpa harus berprasangka yang tidak-tidak. Dengan mengusung rasa hormat atas perbedaan pendapat, mengapa kita tidak belajar berkenalan dengan alasan-alasan yang datang dari pihak yang mungkin tidak sesuai atau tidak sejalan dengan pemikiran kita sendiri?
Wallahu a''lam bishshawab

http://www.ustsarwat.com/

Adakah Keharusan Mengikuti Salah Satu Mazhab?

Tidak pernah ada aturan dalam mazhab untuk setia setiap saat dengan pendapat tertentu. Bahkan Imam Asy-Syafi''i sendiri pun tidak selalu setia dengan pendapatnya.
Beliau pernah membangun sebuah mazhab ketika tinggal di Iraq. Oleh murid-muridnya, pendapat-pendapat beliau dikumpulkan, diajarkan dan diedarkan ke berbagai penjuru dunia, lewat berbagai majelis ilmu.
Namun tak lama kemudian, beliau berangkat ke Mesir dan tinggal di sana. Ada banyak hal baru yang beliau temukan, baik dari segi dalil maupun dalam cara istimbathnya. Maka mulailah beliau mengeluarkan pendapat-pendapat yang mengoreksi pendapatnya sendiri sebelumnya. Dan akhirnya jadilah sebuah mazhab baru, yang disebut dengan qaul jadid. Sedngkan yang di Iraq dahulu disebut dengan qaul qadim.
Kalau seorang Imam mazhab bisa pindah dari pendapatnya yang satu kepada pendapatnya yang lain, maka buat orang lain tentu sangat mungin untuk melakukan hal yang sama.
Dan yang pasti, tidak ada seorang pun dari ke-4 imam mazhab itu yang membuat peraturan bahwa kalau orang sudah bermazhab pada dirinya, maka dia tidak boleh mengambil pendapat dari orang lain.
Di masa lalu para shahahat akan bertanya kepada siapa saja di antara mereka yang dianggap lebih memahami sebuah persoalan. Dan tidak ada aturan, kalau sudah pernah mengikuti pendapat Ibnu Umar ra, maka tidak boleh mengikuti pendapat Ibnu Mas''ud ra. Atau kalau sudah berguru kepada Ibnu Abbas ra maka tidak boleh berguru lagi kepada Abdullah bin Amr bin Al-''Ash ra.
Tidak pernah ada aturan seperti itu. Yang ada hanya kebolehan untuk berpegang kepada satu orang saja. Tetapi bukan kewajiban. Dan keduanya sangat berbeda.
Misalnya, di suatu kampung yang jarang ada ulamanya, kecuali hanya satu-satunya, makawarga kampung ituboleh berguru dan mengambil pendapat dari satu orang itu saja. Tidak ada kewajiban untuk berguru kepada banyak orang. Sebab hal itu akan sangat memberatkan.
Di negeri kita yang mayoritas bermazhab Syafi''i, tidak mengapa bila orang-orang mengambil pendapatmazhab ini saja. Demi kemudahan dan keterbatasan.
Tetapi kalau ada mahasiswa yang punya akses belajar kepada para ulama dari berbagai mazhab yang berbeda, lalu menerapkannya berdasarkan kekuatan istimbath hukumnya, tentu tidak bisa dilarang. Sebab boleh jadi pendapat di satu mazhab benar, namun tidak menutup kemungkinan ada pendapat lain yang rasanya jauh lebih kuat.
Tetapi buat orang awam yang tidak punya waktu, akses dan kemampuan untuk belajar dari banyak mazhab, boleh baginya untuk menggunakan satu mazhab saja. Satu saja sudah cukup, tapi kalau bisa lebih, tentu lebih baik.
Wallahu a''lam bishshawab, wassalamu ''alaikum warahmatullahi wabarakatuh

ustsarwat.com

Mazhab: Apa Masih Diperlukan Hari Ini?

Mazhab fiqih bukanlah sekte atau pecahan kelompok dalam agama. Mazhab fiqih adalah metologi yang sangat diperlukan dalam memahami nash-nash agama.
Mengatakan kembali kepada Quran dan Sunnah memang mudah, tetapi dalam kenyataannya, ada banyak masalah yang muncul dan tidak terpikirkan sebelumnya. Dan ujung-ujungnya, tiap orang akan berimprofisasi sendiri-sendiri dalam berpegang kepada Quran dan Sunnah, bahkan variannya akan menjadi sangat banyak tidak terhingga.
Munculnya aliran sesat semacam Islam Jamaah, Ahmadiyah, serta kelompok nyeleneh lainnya adalah akibat dari tidak adanya sistem istimbath hukum yang baku dalam menarik kesimpulan hukum yang benar dari Quran dan sunnah.
Semua jamaah sesat selalu mengklaim bahwa mereka merujuk kepada Quran dan sunnah. Untuk itu dibutuhkan rule of the game dalam menggunakan Quran dan sunnah, agar hasilnya tidak bertentangan dengan esensi keduanya.
Mazhab Fiqih Adalah Sebuah Upaya Memudahkan
Kita mengenal Al-Quran dengan 6000-an ayatnya, serta mengenal jutaan hadits nabawi. Tentunya, tidak semua orang mampu membaca semuanya, apalagi sampai menarik kesimpulan hukumnya.
Apalagi mengingat bahwa Al-Quran tidak diturunkan dalam format kitab undang-undang atau peraturan. Al-Quran berbentuk prosa yang enak dibaca sebagai bentuk sastra. Tentunya, menelusuri 6000-an ayat untuk dipetakan menjadi sebuah kitab undang-undang yang rinci dan spesifik membutuhkan sebuah kerja berat.
Maka para ulama pendiri mazhab itulah yang berperan untuk menyelesaikan proyek maha raksasa itu. Satu demi satu ayat Quran dibaca, ditelaah, diteliti, dikaji, dibandingkan dengan ayat lainnya, lalu dicoba untuk ditarik kesimpulan hukum yang terkandung di dalamnya.
Sedangkan hadits nabawi yang berjumlah jutaan itu, lebih repot lagi menanganinya. Sebab sebelum ditarik kesimpulan hukumnya, hadits-hadits itu masih harus mengalami proses validisasi terlebih dahulu, serta ditetapkan status derajat keshahihannya.
Hasil dari penelusuran panjang baik dari ayat Quran maupun jutaan butir hadits itu kemudian ditulis dengan susunan yang mudah, dengan bahasa yang lebih teknis dan komunikatif oleh para ulama mazhab itu. Dengan mengikuti sebuah pola tertentu yang sudah distandarisasi sebelumnya secara ilmiyah. Ada puluhan bahan ratusan ulama ahli dan ekspert di bidangnya yang bekerja 24 jam sehari untuk melakukan proses ini sepanjang zaman. Sehingga menghasilkan kesimpulan dan rincian hukum yang sangat detail dan bisa menjawab semua masalah syariah sepanjang zaman.
Produknya telah berjasa besar sepanjang perjalanan hidup umat Islam sejak abad kedua hingga abad 15 hijriyah ini.
Dan semua itu kita sebut mazhab fiqih!!!
Kalau ada orang yang dengan lugunya mengatakan mengapa harus menggunakan mazhab dan tidak langsung saja mengacu kepada quran dan sunnah, jelaslah bahwa orang ini tidak tahu persoalan.
Dan ketika orang ini nantinya mengambil kesimpulan hukum sendiri langsung dari Quran dan sunnah, tanpa sadar dia sedang mendirikan sebuah mazhab baru, yaitu mazhab dirinya sendiri. Dan begitulah, setiap kali ada orang membaca Al-Quran atau sunnah sebagai sumber hukum, maka apa yang disimpulkannya adalah mazhab. Mazhab itu bisa saja mazhabbaru, karena belum ada orang yang memahami dengan cra demikian sebelumnya, atau bisa juga mazhab lama, karena sebelumnya sudah ada yang menyimpulkan seperti kesimpulannya.
Mengapa Ada Banyak Mazhab?
Banyaknya mazhab itu tidak ada kaitannya dengan perpecahan, apalagi permusuhan di dalam tubuh umat Islam. Sebaliknya, banyaknya mazhan dan pendapat itu justru menunjukkan sangat dinamisnya syariat Islam, serta sangat luasnya wilayah ijithad.
Semakin banyak mazhab justru kita semakin bangga, bukan semakin sedih. Sebab mazhab itu tidak seperti sekte atau pecahan-pecahan yang saling bermusuhan. Adanya mazhab-mazhab itu menunjukkan kecanggihan dan keistimewaan syariah Islam.
Kita bisa ibaratkan sebuah organisasi, semakin banyak departemen dan bidang-bidangnya, menunjukkan semakin banyak besar dan semakin luas jangkauan organisasi itu. Dan tentunya semakin profesional.
Latar Belakang Perbedaan
Ada banyak latar belakang perbedaan pendapat yang menyebabkan banyaknya versi kesimpulan hukum, di antaranya adalah:
  1. Adanya nash-nash yang secara zahir saling bertentangan, baik antara Quran dengan Quran, atau antara Quran dengan hadits, atau antara hadits dengan hadits.
  2. Adanya celah penafsiran dan kesimpulan hukum yang berbeda di dalam satu dalil yang sama
  3. Adanya perbedaan status dan derajat keshaihan suatu hadits, sehingga sebagian ulama menerima suatu hadits karena menurutnya shahih bisa dijadikan dalil, namun sebagian lainnya menolak keshahihan hadits itu dan tidak mau menjadikannya sebagai dalil.
  4. Adanya metode istimbath hukum yang berbeda antara satu ulama dengan lainnya. Prakek penduduk Madinah (amalu ahlil Madinah) adalah metode atau sumber hukum yang diterima oleh Imam Malik, namun ulama lain tidak mau menggunakan metode ini.
  5. Adanya perbedaan dalam penggunaan istilah-isitlah fiqih di antara masing-masing mazhab. Sehingga meski sekilas kelihatannya salin berbeda, namun boleh jadi esensinya justru sama dan sejalan.
  6. Adanya ''urf dan kebiasaan masyarakat yang berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya. Hal ini mengingat bahwa kesimpulan hukum itu seringkali terkait dengan realitas sosial yang berkembang pada suatu masyarakat tertentu.
Dan masih banyak lagi penyebab perbedaan pandangan di kalangan ulama. Hal seperti ini tidak bisa dihindarkan, bahkan sudah terjadi semenjak nabi SAW masih hidup. Bahkan nabi SAW sendiri pernah berbeda pendapat dengan para shahabat dalam hasil ijtihadnya, dan justru ijtihad shahabatnya yang dibenarkan Allah SWT.
Maka kesimpulan dari jawaban ini adalah bahwa bermazhab itu adalah bentuk paling benar dari slogan kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah. Dan bahwa berbeda pandangan yang terjadi di dalam masing-masing mazhab itu adalah sebuah keniscayaan yang mustahil dihindari. Namun perbedaan itu haram untuk dijadikan dasar perpecahan dan permusuhan, sebaliknya harus menjadi sebuah khazanah kekayaan syariah Islam yang luas dan luwes.
Wallahu a''lam bishshawab, wassalamu ''alaikum warahmatullahi wabarakatuh

"Apakah Benar Demokrasi itu Sistem Kufur?"

Assalamu'alaikum..
Apakah benar Ustadz, bahwa demokrasi itu distem kufur? Lalu bagaimana sistem pemerintahan yang sesuai dengan Sunnah Rasul SAW? Adakah negara yang menerapkannya sekarang? Jazakumulloh Khoiron Katsiro.

Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wa barakatuh.
Muhamad Derajat

Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Saat ini umat Islam dihadapkan pada kenyataannya bahwa khilafah Islamiyah yang tadinya besar itu telah dipecah-pecah oleh penjajah menjadi negeri kecil-kecil dengan sistem pemerintahan yang sekuler. Namun mayoritas rakyatnya Islam dan banyak yang masih berpegang teguh pada Islam. Sedangkan para penguasa dan pemegang keputusan ada di tangan kelompok sekuler dan kafir, sehingga syariat Islam tidak bisa berjalan. Karena mereka menerapkan sistem hukum yang bukan Islam dengan format sekuler dengan mengatasnamakan demokrasi.

Meski prinsip demokrasi itu lahir di barat dan begitu juga dengan trias politikanya, namun tidak selalu semua unsur dalam demokrasi itu bertentangan dengan ajaran Islam. Bila kita jujur memilahnya, sebenarnya ada beberapa hal yang masih sesuai dengan Islam. Beberapa di antaranya yang dapat kami sebutkan antara lain adalah:
• Prinsip syura (musyawarah) yang tetap ada dalam demokrasi meski bila deadlock diadakan voting. Voting atau pengambilan suara itu sendiri bukannya sama sekali tidak ada dalam syariat Islam.
• Begitu juga dengan sistem pemilihan wakil rakyat yang secara umum memang mirip dengan prinsip ahlus syuro.
• Memberi suara dalam pemilu sama dengan memberi kesaksian atas kelayakan calon.
• Termasuk adanya pembatasan masa jabatan penguasa. Sistem pertanggung-jawaban para penguasa itu di hadapan wakil-wakil rakyat.
• Adanya banyak partai sama kedudukannya dengan banyak mazhab dalam fiqih.

Namun memang ada juga yang jelas-jelas bertentangan dengan syariat Islam, yaitu bila pendapat mayoritas bertentangan dengan hukum Allah. Juga praktek-praktek penipuan, pemalsuan dan penyelewengan para penguasa serta kerjasama mereka dalam kemungkaran bersama-sama dengan wakil rakyat. Dan yang paling penting, tidak adanya ikrar bahwa hukum tertinggi yang digunakan adalah hukum Allah SWT.

Namun sebagaimana yang terjadi selama ini di dalam dunia perpolitikan, masing penguasa akan mengatasnamakan demokrasi atas pemerintahannya meski pelaksanaannya berbeda-beda atau malah bertentangan dengan doktrin dasar demokrasi itu sendiri.
Sebagai contoh, dahulu Soekarno menjalankan pemerintahannya dengan gayanya yang menurut lawan politiknya adalah tiran, namun dengan tenangnya dia mengatakan bahwa pemerintahannya itu demokratis dan menamakannya dengan demokrasi terpimpin.
Setelah itu ada Soeharto yang oleh lawan politiknya dikatakan sebagai rezim yang otoriter, namun dia tetap saja mengatakan bahwa pemerintahannya itu demokratis dan menamakannya demokrasi pancasila. Di belahan dunia lain kita mudah menemukan para tiran rejim lainnya yang nyata-nyata berlaku zali dan memubunuh banyak manusia tapi berteriak-teriak sebagai pahlawan demokrasi. Lalu sebenarnya istilah demokrasi itu apa?

Istilah demokrasi pada hari ini tidak lain hanyalah sebuah komoditas yang sedang ngetrend digunakan oleh para penguasa dunia untuk mendapatkan kesan bahwa pemerintahannya itu baik dan legitimate. Padahal kalau mau jujur, pada kenyataannya hampir-hampir tidak ada negara yang benar-benar demokratis sesuai dengan doktrin dasar dari demokrasi itu sendiri.

Lalu apa salahnya di tengah ephoria demokrasi dari masyarakat dunia itu, umat Islam pun mengatakan bahwa pemerintahan mereka pun demokratis, tentu demokrasi yang dimaksud sesuai dengan maunya umat Islam itu sendiri.

Kasusnya sama saja dengan istilah reformasi di Indoensia. Hampir semua orang termasuk mereka yang dulunya bergelimang darah rakyat yang dibunuhnya, sama-sama berteriak reformasi. Bahkan dari sekian lusin partai di Indonesia ini, tidak ada satu pun yang tidak berteriak reformasi. Jadi reformasi itu tidak lain hanyalah istilah yang laku dipasaran meski -bisa jadi- tak ada satu pun yang menjalankan prinsipnya.

Maka tidak ada salahnya pula bila pada kasus-kasus tertentu, para ulama dan tokoh-tokoh Islam melakukan analisa tentang pemanfaatan dan pengunaan istilah demokrasi yang ada di negara masing-masing. Lalu mereka pun melakukan evaluasi dan pembahasan mendalam tentang kemungkinan memanfaatkan sistem yang ada ini sebagai peluang menyisipkan dan menjalankan syariat Islam.
Hal itu mengingat bahwa untuk langsung mengharapkan terwujudnya khilafah Islamiyah dengan menggunakan istilah-istilah baku dari syariat Islam mungkin masih banyak yang merasa risih. Begitu juga untuk mengatakan bahwa ini adalah negara Islam yang tujuannya untuk membentuk khilafah, bukanlah sesuatu yang dengan mudah terlaksana.

Jadi tidak mengapa kita sementara waktu meminjam istilah-isitlah yang telanjur lebih akrab di telinga masyarakat awam, asal di dalam pelaksanaannya tetap mengacu kepada aturan dan koridor syariat Islam. Bahkan sebagian dari ulama pun tidak ragu-ragu menggunakan istilah demokrasi, seperti Ustaz Abbas Al-`Aqqad yang menulis buku Ad-Dimokratiyah fil Islam. Begitu juga dengan ustaz Khalid Muhammad Khalid yang malah terang-terangan mengatakan bahwa demokrasi itu tidak lain adalah Islam itu sendiri.

Semua ini tidak lain merupakan bagian dari langkah-langkah kongkrit menuju terbentuknya khilafah Islamiyah. Karena untuk tiba-tiba melahirkan khilafah, tentu bukan perkara mudah. Paling tidak, dibutuhkan sekian banyak proses mulai dari penyiapan konsep, penyadaran umat, pola pergerakan dan yang paling penting adalah munculnya orang-orang yang punya wawasan dan ekspert di bidang ketata-negaraan, sistem pemerintahan dan mengerti dunia perpolitikan.

Dengan menguasai sebuah parlemen di suatu negara yang mayoritas muslim, paling tidak masih ada peluang untuk 'mengIslamisasi' wilayah kepemimpinan dan mengambil alihnya dari kelompok anti Islam. Dan kalau untuk itu diperlukan sebuah kendaraan dalam bentuk partai politk, juga tidak masalah, asal partai itu memang tujuannya untuk memperjuangkan hukum Islam dan berbasis masyarakat Islam. Partai harus ini menawarkan konsep hukum dan undang-undang Islam yang selama ini sangat didambakan oleh mayoritas pemeluk Islam. Dan di atas kertas, hampir dapat dipastikan bisa dimenangkan oleh umat Islam karena mereka mayoritas. Dan bila kursi itu bisa diraih, paling tidak, secara peraturan dan asas dasar sistem demokrasi, yang mayoritas adalah yang berhak menentukan hukum dan pemerintahan.

Umat Islam sebenarnya mayoritas dan seharusnya adalah kelompok yang paling berhak untuk berkuasa untuk menentukan hukum yang berlaku dan memilih eksekutif (pemerintahan). Namun sayangnya, kenyataan seperti itu tidak pernah disadari oleh umat Islam sendiri
Tanpa adanya unsur umat Islam dalam parlemen, yang terjadi justru di negeri mayoritas Islam, umat Islammnya tidak bisa hidup dengan baik. Karena selalu dipimpin oleh penguasa zalim anti Islam. Mereka selalu menjadi penguasa dan umat Islam selalu jadi mangsa. Kesalahannya antara lain karena persepsi sebagian muslimin bahwa partai politik dan pemilu itu bid`ah. Sehingga yang terjadi, umat Islam justru ikut memilih dan memberikan suara kepada partai-partai sekuler dan anti Islam.

Karena itu sebelum mengatakan mendirikan partai Islam dan masuk parlemen untuk memperjuangkan hukum Islam itu bid`ah, seharusnya dikeluarkan dulu fatwa yang membid`ahkan orang Islam bila memberikan suara kepada partai non Islam. Atau sekalian fatwa yang membid`ahkan orang Islam bila hidup di negeri non-Islam. Partai Islam dan Parlemen adalah peluang Dakwah: Karena itu peluang untuk merebut kursi di parlemen adalah peluang yang penting sebagai salah satu jalan untuk menjadikan hukum Islam diakui dan terlaksana secara resmi dan sah. Dengan itu, umat Islam punya peluang untuk menegakkan syariat Islam di negeri sendiri dan membentuk pemerintahan Islam yang iltizam dengan Al-Quran dan Sunnah.

Tentu saja jalan ke parlemen bukan satu-satunya jalan untuk menegakkan Islam, karena politik yang berkembang saat ini memang penuh tipu daya. Lihatlah yang terjadi di AlJazair, ketika partai Islam FIS memenangkan pemilu, tiba-tiba tentara mengambil alih kekuasaan. Tentu hal ini menyakitkan, tetapi bukan berarti tidak perlu adanya partai politik Islam dan pentingnya menguasai parlemen. Yang perlu adalah melakukan kajian mendalam tentang taktik dan siasat di masa modern ini bagaimana agar kekuasaan itu bisa diisi dengan orang-orang yang shalih dan multazim dengan Islam. Agar hukum yang berlaku adalah hukum Islam.

Selain itu dakwah lewat parlemen harus diimbangi dengan dakwah lewat jalur lainnya, seperti pembinaan masyarakat, pengkaderan para teknokrat dan ahli di bidang masing-masing, membangun SDM serta menyiapkan kekuatan ekonomi. Semua itu adalah jalan dan peluang untuk tegaknya Islam, bukan sekedar berbid`ah ria.

Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.

"Haramkah Berpartai?"

Apakah Landasan Syar'i Kita Boleh Berpolitik?
Asaalaamu'alaiku, Ustadz.

Saya mau tanya, apakah ada dalil yang menyatakan kita boleh berpolitik? Jika ada, apakah ada adab-adab yang harus dipenuhi. Jazakallah.
Wassalaamu'alaikum,
Nanik Sugiyani

Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Sebelum menjawab pertanyaan ini, seharusnya dijawab dulu pertanyaan yang sebelumnya, "Adakah landasan syar'i dari haramnya berpolitik?"

Mungkin titik pangkalnya adalah dalam batasan istilah politik itu sendiri. Di mana sebagian orang memandang politik dalam arti yang terlalu sempit serta cenderung menampilkan politik dalam wajah negatifnya. Seperti keculasan, penindasan, perebutan kekuasaan, pembunuhan, perang dan ceceran darah.

Politik dalam arti sempit dan wajah negatif ini seringkali muncul menjadi icon yang mewakili pengertian kata istilah politik. Padahal ini hanyalah sebuah aliran dan pemahaman subjektif dari Machiavelli yang termasyhur dengan nasihatnya, bahwa seorang penguasa yang ingin tetap berkuasa dan memperkuat kekuasaannya haruslah menggunakan tipu muslihat, licik dan dusta, digabung dengan penggunaan kekejaman penggunaan kekuatan.

Tentu saja politik dalam konsep si Machivelli itu bukan sekedar diharamkan dalam syariat Islam, tetapi juga dikutuk. Bahkan turunnya syariat Islam itu salah satu perannya untuk membasmi konsep politik si terkutuk dariItalia itu.

Politik dalam pengertian si pembuat onar ini juga dikutuk oleh semua orang dan dianggap selaku bajingan tak bermoral. Hanya para bajingan yang tak bermoral saja yang memuji konsepnya itu. Para diktator dunia seperti Hitler, Musolini, Lenin, Stalin, Bush, Blair dan orang-orang sejenisnya, bisa dimasukkan dalam kelompok para pemuja ide-ide syetan muntahan dari mulut Machiavelli.

Para Nabi dan Shahabat Adalah Politikus yang Benar
Namun kalau kita kembalikan pengertian politik dalam arti luas dan positif, di mana politik pada dasarnya adalah sebuah sistem untuk mengatur masyarakat atau negara dengan tujuan demi kemashlahatan umat manusia, tentu saja politik itu mulia.

Bahkan sejak masa awal manusia diturunkan ke muka bumi dengan dikawal oleh para nabi dan rasul, tugas utama syariah adalah mengatur kehidupan masyarakat dan negara. Dan itu adalah politik. Tapi bukan versi Machiavelli, melainkan versi langit alias versi syariah.
Maka bisa kita sebutkan bahwa menjalankan politik yang benar itu bukan hanya boleh, tetapi wajib bahkan menjadi inti tujuan risalah. Untuk mengatur politik-lah para nabi dan rasul diutus ke muka bumi, selain mengajarkan ritual peribadatan.

Diplomasi dengan Penguasa Zalim
Dalam realitasnya, ternyata para nabi dan Rasul pun bukan hidup di dalam hutan jauh dari politik kotor. Justru mereka berhadapan langsung -face to face- dengan para pelaku politik jahat. Bukankah Allah SWT memerintahkan kepada Musa untuk mendatangi Fir'aun?
Pergilah kepada Fir'aun; sesungguhnya ia telah melampaui batas.(QS. Thaha: 24)

Bahkan Nabi Musa as. sendiri lahir di dalam istana Fir'aun yang sedang aktif berpolitik kotor. Dan Musa ikut masuk dalam gelanggang politik berhadapan dengan Fir'aun, namun membawa konsep politk langit. Maka begitulah, sebagian besar isi Al-Quran yang bercerita tentang Nabi Musa as, lebihbesar porsinya tentang kisah politik Nabi Musa versus Fir'aun.

Datangnya Musa as berdebat dan berdiplomasi langsung ke istana Fir'aun, bukankah itu tindakan politik?

Perang
Selain Musa as., nyaris semua nabi memang menjadi pimpinan politik umatnya. Mereka tidak mengurung diri di dalam mihrab meninggalkan urusan duniawi, melainkan mereka ikut dalam semua aktifitas membangun bangsa. Bahkan tidak sedikit di antara para nabi itu yang mati lantaran perjuangan mereka dalam masalah politik. Dan berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak menyerah. Allah menyukai orang-orang yang sabar.(QS. Ali Imran: 146)

Apakah perang bukan urusan politik?

Mengatur Kekayaan Negara
Nabi Yusuf as. juga seorang politkus yang handal dan sukses menyelamatkan negaranya dari berbagai krisis ekonomi. Bahkan Al-Quran secara nyata mengisahkan bagaimana deal-deal politik Nabi Yusuf as. untuk mengincar jabatan sebagai penguasa masalah logistik negara.
Berkata Yusuf, "Jadikanlah aku bendaharawan negara; sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan." (QS. Yusuf: 55)

Apakah mengatur logistik dan kekayaan negara bukan urusan politik?
Maka berpolitk yang tujuan dan caranya sesuai dengan misi ilahi, tentu saja hukumnya boleh dan bahkan wajib. Sedangkan berpolitik yang tujuan dan caranya bagai si Machiavelli durjana itu, jelas haram bahkan dilaknat.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.

Pertaruhan Keabadian

Jaminan keabadian syariat Islam ternyata harus dibayar dengan harga yang tidak semurah yang kita bayangkan. Jaminan keabadian ini harus dipertaruhkan sepanjang zaman; melawan berbagai tantangan dan fitnah yang tidak pernah selesai.

Pada 13 tahun pertama masa da'wah di Makkah, setidaknya ada empat tantangan dan fitnah yang dihadapi Rasulullah saw. Pertama, syubhat yang disebarkan para intelektual musyrikin Quraisy: sebagiannya terkait dengan pribadi sang Rasul pembawa risalah yang dituduh gila, atau penyair dan lainnya, sebagiannya lagi terkait dengan risalah itu sendiri, hingga suatu saat Allah menantang mereka untuk membuat Al-Qur'an yang lain.

Kedua, tawaran kompromi politik. Sebagiannya berupa posisi kepemimpinan bagi Rasulullah Saw yang harus dibayar dengan menghentikan da'wah, sebagiannya berupa kompromi dengan cara kaum musyrikin menyembah Allah setahun dan kaum Muslimin menyembah tuhan-tuhan kaum musyrikin setahun.

Ketiga, teror mental dan fisik, baik kepada Rasulullah saw secara pribadi maupun kepada sahabat-sahabat beliau yang berasal dari kabilah-kabilah yang lemah.

Keempat, embargo ekonomi yang berlangsung selama tiga tahun, dari tahun ketujuh hingga tahun kesepuluh kenabian. Begitu beratnya dampak embargo ini hingga banyak sahabat Rasulullah saw yang terpaksa memakan daun-daun pohon.

Pengulangan sejarah

Fitnah terhadap Islam dan syariatnya -sepanjang sejarah Islam- tampaknya mengalami pengulangan-pengulangan dengan struktur yang sama; pada mulanya ada syubhat yang bertujuan menggoyang kepercayaan kaum Muslimin, lalu ada tawaran kompromi politik yang bertujuan mengalihkan fokus penerapan syariat.

Jika kedua cara yang relatif demokratis ini gagal, maka fitnah itu dikembangkan dengan menggunakan bahasa kekerasan; teror mental dan fisik, yang dilanjutkan dengan menghabisi sumber daya perekonomian kaum Muslimin.

Lihatlah, misalnya, bagaimana berbagai macam syubhat tentang Islam bertebaran dalam dunia pemikiran Islam moderen, sejak zaman penjajahan hingga saat ini. Gerakan orientalisme telah bekerja keras menyebarkan syubhat-syubhat itu, sama kerasnya dengan kerja para imperialis mendidik para pemikir Muslim yang menelan mentah-mentah syubhat-syubhat tersebut.

Ambillah contoh gagasan tentang Islam ritual. Para orientalis menyebarkan gagasan ini untuk menutupi fakta tentang Islam sebagai sebuah sistem kehidupan. Pada suatu masa di awal abad ke-20, beberapa orang intelektual Mesir dikirim ke Perancis untuk belajar Islam. Salah seorang di antara mereka, Dr Ali Abdurraziq, kemudian kembali dengan membawa gagasan tentang "Islam tanpa politik".

Snouck Hourgronje datang ke Indonesia meneguhkan gagasan tersebut dan berhasil memperpanjang masa penjajahan Belanda di negeri ini. Sebabnya? Kaum Muslimin di sini tidak menganggap politik sebagai bagian dari Islam. Pada tahun 70-an awal, gagasan yang sama dengan latar belakang sosial politik yang berbeda muncul ke permukaan pemikiran Islam: "Islam Yes, Partai Islam No". Tokohnya kita semua sudah tahu. Sekarang, kalangan Islam Liberal membawa gagasan yang sama: jangan bawa syariat Islam dalam kehidupan bernegara. Tokohnya juga kita kenal.

Tapi syubhat-syubhat ini sudah relatif selesai, dan tidak lagi efektif mencegah laju kebangkitan Islam. Para penggagas kebangkitan Islam sejak Afghani, Abduh, Rasyid Ridha, Hasan Al-Banna, Sayyid Quthub, hingga Iqbal, Al-Maududi, Al-Nadawi dan Natsir di luar jazirah Arab, telah berhasil membangun landasan pemikiran Islam yang kokoh. Sejak tahun 70-an hingga saat ini laju kebangkitan Islam telah berkembang dari sekedar gerakan pemikiran menjadi gerakan sosial politik yang merata di seluruh di dunia Islam.

Lihatlah apa yang terjadi di Aljazair, Yaman, Iran, Turki, Indonesia, Pakistan, Sudan dan lainnya. Kekerasan telah menjadi bahasa umum-yang digunakan berbagai rezim boneka -di mana Islam direpresentasikan dalam panggung politik. Di Aljazair misalnya, FIS yang pernah memenangkan pemilu di awal 90-an, sekarang tinggal sebuah nama yang 'pernah ada' dalam sejarah politik negeri itu.

Tapi itu bahkan tidak hanya dilakukan oleh rezim penguasa lokal. Kekuatan imperialis global di bawah dominasi Barat, khususnya Amerika Serikat, terlibat sangat jauh mendukung rezim penguasa lokal. Begitu sebuah harakah Islam berhasil menegara dan berkuasa, rezim baru itu akan segera diisolasi.
Lihatlah Sudan. Begitu kudeta putih yang dipimpin Umar Al-Basyir berhasil menguasai Sudan tahun 1987, dan mulai mencanangkan penerapan syariat Islam, negeri Muslim di perbatasan Afrika-Arab itu segera masuk dalam lingkaran setan embargo ekonomi hingga saat ini.

Banjir tak lagi terbendung

Tapi seperti banjir, gelombang kembali kepada Islam, baik di jalur sosial budaya maupun di jalur ekonomi politik, tak lagi dapat dibendung. Seperti syubhat-syubhat pemikiran para orientalis bersama para muridnya di negeri-negeri Islam yang tidak lagi efektif sejak dekade 70-an, maka cara-cara kekerasan dalam bentuk teror mental dan fisik atau embargo ekonomi, juga tidak lagi efektif sejak dekade 90-an. Runtuhnya Uni Soviet awal dekade 90-an bukan hanya mengangkat AS ke puncak dominasi dunia, tapi juga menyisakan berkah bagi dunia Islam; yakni runtuhnya tembok tirani yang memberi jalan bagi proses demokratisasi di negeri-negeri Muslim yang didominasi para tiran.

Lebih dari itu, peta aliansi strategis antar berbagai kekuatan global berubah pada basisnya; dari orientasi ideologi ke orientasi kepentingan ekonomi. Karena potensi-potensi yang dimilikinya, baik potensi sumber daya alam, maupun potensi pasarnya, maka perkembangan ini akan memberikan posisi tawar yang baik bagi dunia Islam.

Fakta ini melahirkan fakta lain; dunia kita makin sulit dikontrol oleh hanya satu tangan. Kita belajar satu hal dari rentetan peristiwa pemboman WTC dan Pentagon 11 September 2001, hingga demonstrasi 10 juta orang di seluruh dunia 14 Februari 2003 lalu menentang rencana serangan AS-Inggris ke Irak; bahwa Amerika tak lagi seberwibawa dulu, bahwa Amerika bukan lagi mitos yang menakutkan, bahwa Amerika bukan lagi simbol peradaban tapi simbol kebiadaban.

Retaknya koalisi Barat, runtuhnya pamor Amerika, dan rusaknya citra peradaban mereka menjadi kebiadaban, akan mempercepat laju trend "kembali ke Islam"; karena di sini kita -dan dunia- menemukan identitas yang solid untuk melakukan perlawanan.

Faktor-faktor eksternal ini, khususnya bila Amerika benar-benar menyerang Irak, akan mendorong peningkatan solidaritas dunia Islam bersama bagian dunia lain yang anti-Amerika, memperlihatkan secara kasat mata kebiadaban Amerika serta meningkatkan semangat anti-Amerika di seluruh dunia.

Secara internal, kondisi-kondisi global ini akan mempercepat proses pematangan gerakan-gerakan Islam, dan mengantar mereka ke jalur cepat menjadi negara. Kenapa? Karena rezim-rezim pro Amerika di dunia Islam akan kehilangan legitimasi di mata rakyat, dan pada waktu yang sama, menjadikan kekuatan Islam sebagai alternatif perlawanan. Untuk tahapan ini, kenyataan ini menguntungkan gerakan Islam.

Jalan masuk menuju kemenangan besar Islam telah dimulai dari sini; dari sebuah dunia yang semakin tidak terkontrol, dari runtuhnya kepemimpinan Amerika atas dunia, dari kekacauan global dunia tanpa kutub, dari keserakahan tak terbatas yang melahirkan pertarungan atas sumber-sumber daya ekonomi. Lebih dari itu semua; ada janji Allah untuk mengabadikan dan memenangkan agama ini.

Jangan hiraukan agenda kecil

Dalam kerangka itulah kaum Muslimin, khususnya para pemimpin dan pemikirnya, harus memfokuskan perhatiannya pada agenda-agenda besarnya; membangun aliansi besar ummat Islam, membangun pondasi sosial-politik bagi kehidupan kenegaraan yang kokoh, peningkatan kemampuan mobilisasi massa, pengembangan kapasitas pengendalian politik melalui berbagai jalur parlementer-ekstraparlementer, jalur lambat pemilu atau jalur cepat people power, pematangan agenda-agenda aksi di lapangan dan lainnya.

Kita harus terbiasa bekerja dalam agenda-agenda besar itu, dan terbiasa juga mengabaikan agenda-agenda kecil seperti menjawab ocehan kalangan Islam Liberal, membela diri dari tuduhan sebagai teroris, dan agenda-agenda sejenis ini yang kontra-produktif.

Oleh Ust Anis Matta

MENGENDALIKAN SYAHWAT

“Jangan kamu dekat-dekat pada perzinaan, karena sesung-guhnya dia itu perbuatan yang kotor dan cara yang sangat tidak baik.” (QS. Al-Isra’:32)

Sahl bin Sa’d berkata: Rasulullah saw bersabda : “Siapa yang menjamin untukku apa yang ada diantara dua janggutnya dan dua kakinya maka aku menjamin untuknya sorga.” (HR. Bukhari)

MENJAGA KEMALUAN

Adab berpakaian dalam Islam :

1. Hendaknya ikhwan menahan seluruh auratnya dan demikian juga dengan akhwat.

“Katakanlah kepada orang-orang mu’min laki-laki: hendaklah mereka itu menundukkan sebahagian pandangan-nya dan menjaga kemaluannya; karena yang demikian itu lebih bersih bagi mereka. Sesungguhnya Allah Mahameneliti terhadap apa-apa yang kamu kerjakan. (An-Nur : 30)

“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah Menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda-tanda Kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.” (QS. Al-A’raf 7:26)

Tidak boleh menggunakan pakaian yang membentuk dan tipis sehingga menampilkan aurat.

“Sesungguhnya termasuk ahli neraka, yaitu perempuan-perempuan berpakaian tetapi telanjang, yang condong kepada maksiat dan menarik orang lain untuk berbuat maksiat. Mereka ini tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya.” (Riwayat Muslim)

2. Tidak berpakaian dengan maksud sombong

Rasulullah saw. bersabda: Allah tidak melihat dengan pan-dangan rahmat terhadap orang yang menurunkan sarung lebih dari mata kaki karena sombong.” (HR. Bukhari, Muslim)

3. Ikhwan tidak menyerupai akhwat dan demikian sebaliknya

Rasulullah saw. pernah menghitung orang-orang yang dilaknat di dunia ini dan disambut juga oleh Malaikat di antaranya ialah laki-laki yang memang oleh Allah dijadikan betul-betul laki-laki, tetapi dia menjadikan dirinya sebagai perempuan dan menyerupai perempuan, dan yang kedua, ialah perempuan yang memang dicipta oleh Allah sebagai perempuan betul-betul, tetapi kemudian dia menjadikan dirinya sebagai laki-laki dan menyerupai laki-laki (HR. Thabarani)

4. Ikhwan tidak menggunakan perhiasan emas dan sutra

Umar bin Alkhotthob r.a. berkata: Rasulullah saw. bersabda: Kamu jangan memakai sutra. Maka siapa yang memakainya di dunia, tidak akan memakainya di akherat. (Bukhari, Muslim)

Anas r.a. berkata: Rasulullah saw. telah mengizinkan bagi Azzubair dan Abdurrahman bin Auf memakai sutra karena keduanya menderita sakit gatal-gatal. (Bukhari, Muslim)

Tujuannya adalah untuk pendidikan moral yang tinggi demi menjaga sifat keperwiraan laki-laki dari segala bentuk kelemahan serta untuk memberantas sifat bermewah-mewah.

5. Tidak berpakaian seperti pakaian spesialis yang dipakai oleh orang-orang kafir seperti Yahudi, Kristen dan penyembah-penyembah berhala. Ummat ini baik yang laki-laki ataupun perempuan harus mempunyai ciri-ciri tersendiri baik dalam hal-hal yang nampak maupun tersembunyi.

“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia itu dari golongan mereka.” (Riwayat Thabrani)

MENJAGA PANDANGAN

Adab pergaulan dalam Islam :

1. Pergaulan hendaknya diniatkan untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah

“Hai sekalian manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan dan Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling taqwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al Hujurat 49:13)

2. Hendaknya ikhwan menahan sebagian pandangannya dan demikian juga dengan akhwat.

Hendaklah menundukkan pandangan dari apa yang diharamkan oleh Allah SWT. Karena pandangan dapat membangkitkan nafsu birahi dan merangsang pelakunya untuk terjerumus ke dalam dosa dan ma’shiat. Oleh karena itu Al-Qur’an memberikan peringatan keras terhadap pandangan liar.

“Katakanlah kepada orang-orang Mu’min : “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; dan demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (QS. An Nur [24]:30)

Sabda Rasulullah saw :

“Pandangan itu merupakan salah satu anak panah iblis”

Dua mata itu berzina dan zinanya mata ialah melihat” (HR. Bukhari)

Salah satu keringanan Islam adalah Dia membolehkan melihat yang sifatnya mendadak pada bahagian yang seharusnya tidak boleh.

“Dari Jarir bin Abdullah, ia berkata: Saya bertanya kepada Rasulullah saw. tentang melihat dengan mendadak. Maka jawab Nabi: Palingkanlah pandanganmu itu!” (HR. Muslim)

“Hai Ali! Jangan sampai pandangan yang satu mengikuti pandangan lainnya. Kamu hanya boleh pada pandangan pertama, adapun yang berikutnya tidak boleh.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi)

Perempuan melihat laki-laki tidak pada auratnya, hukumnya mubah, selama tidak diikuti dengan syahwat atau tidak dikuatirkan akan menimbulkan fitnah.

Sebagian ulama yang extrimis menganggap, bahwa perempuan sama sekali tidak boleh melihat anggota laki-laki yang manapun. Mereka membawa dalil hadis yang diriwayatkan oleh Nabhan bekas hamba Ummu Salamah, bahwa Rasulullah saw. pernah berkata kepada Ummu Salamah dan Maimunah yang waktu itu Ibnu Ummi Maktum masuk ke rumahnya. Nabi bersabda : pakailah tabir. Kemudian kedua isteri Nabi itu berkata: “Dia (Ibnu Ummi Maktum) itu buta!” Maka jawab Nabi: “Apakah kalau dia buta, kamu juga buta? Bukankah kamu berdua melihatnya?”

Tetapi dari kalangan ahli tahqiq (orang-orang yang ahli dalam penyelidikannya terhadap suatu hadits/pendapat) mengatakan: Hadis ini tidak sah menurut ahli-ahli Hadis, karena Nabhan yang meriwayatkan Hadis ini salah seorang yang omongannya tidak dapat diterima.

Kalau ditakdirkan hadis ini sahih, adalah suatu sikap kerasnya Nabi kepada isteri-isterinya karena kemuliaan mereka, sebagaimana beliau bersikap keras dalam persoalan hijab.

3. Ikhwan tidak memegang akhwat dan demikian sebaliknya

Rasulullah saw. pernah bersabda sbb: “Sungguh kepala salah seorang diantara kamu ditusuk dengan jarum dari besi, lebih baik daripada dia menyentuh seorang perempuan yang tidak halal baginya.” (Riwayat Thabarani, baihaqi dan rawi-rawinya thabarani adalah kepercayaan)

Jauhi saja perempuan/laki-laki yang tidak menjaga adab ini.

4. Ikhwan dan akhwat harus menjaga jarak; sebaiknya sebatas dimana mereka tidak mencium wewangian dari lawan jenisnya

“Siapa saja perempuan yang memakai wangi-wangian kemudian melewati suatu kaum supaya mereka itu mencium baunya, maka perempuan tersebut dianggap berzina; dan tiap-tiap mata ada zinanya.” (Riwayat Nasa’i, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban)

5. Tidak “berdua-duaan” baik dalam zhahir maupun batin.

Sebaiknya jika hendak melakukan pertemuan yang cukup lama, ikhwan membawa teman ikhwannya dan akhwat pun membawa teman akhwatnya. Teman disini ditujukan agar dapat mengingatkan jika dia bergaul melewati batas.

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka jangan sekali-kali dia bersendirian dengan seorang perempuan yang tidak bersama mahramnya, karena yang ketiganya ialah saitan.” (Riwayat Ahmad)

6. Segala bentuk pergaulan jika membangkitkan nafsu syahwat, maka itu adalah haram

MAHRAM

Laki-laki hanya boleh melihat muka dan kedua telapak tangan perempuan yang memang ada rukhsah untuk dinampakkan. Larangan ini dikecuali-kan untuk 12 orang :

1. Suami

2. Ayah, baik dari pihak ayah ataupun ibu

3. Ayah mertua

4. Anak-anak laki-lakinya. Termasuk juga cucu, baik dari anak laki-laki ataupun dari anak perempuan

5. Anak-anaknya suami.

6. Saudara laki-laki, baik sekandung, sebapa atau seibu

7. Keponakan.

8. Sesama perempuan yang seagama baik yang ada kaitannya dengan nasab ataupun orang lain

9. Hamba sahaya

10. Keponakan dari saudara perempuan

11. Orang-orang yang ikut serumah yang tidak ada rasa bersyahwat

12. Anak-anak kecil yang tidak mungkin bersyahwat ketika melihat aurat perempuan

Al-Maraji’

Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam

I Love Allah

Aku melangkah dengan langkah indahku untuk ke luar rumahku agar aku dapat menatap langit yang biru...
Dengan membawa Indahnya senyuman yang menggambarkan begitu besar CintaMu...
Senyuman yang dapat bercerita tentang indahnya Mahabbah Rabbku...
Keindahan yang tidak mampu dapat ditorehkan oleh tinta...
Atas Karunia Rabbku, aku mampu mempermanis manisnya senyum Indahku...
Agar dapat membawakan suatu gambar yang lebih Indah kepadamu tentang Keindahannya...
Karena aku tak mampu dapat menggoresnya pada sebuah kertas...
Aku datang dengan membawa segengam senyum di bibirku...
Agar dapat menggambarkan kepadamu tentang Indahnya Karunia itu melalui senyuman Indahku...
Sebagai bingkisan dariku kepadamu, Wahai jiwa-jiwa tenang yang penuh ketentraman...
Sehingga berpijarlah Karunia yang menghiasi dunia dengan Selendang Cahayanya...
Karunia yang hendak memberikan ketentraman bagi jiwa-jiwa yang tenang...
Yaa Rabb, tak ada dariku yang dapat melukiskan MahabbahMu, Kecuali Senyuman Indah ini...
Maka, Izinkanlah Senyuman ini dapat menjadi pena yang dapat melukiskan Indahnya MahabbahMu di Tempat aku berpijak...
Hingga Karunia itu dapat menguatkan pijarnya lagi ketika sempat terlelap dalam padamnya...
Allahuma Amiiin...

Kepada Kaum Adam Yang Belum Menikah

Mungkin kalian sedang tertarik ataupun tak dapat menahan pesona kalian terhadap cantiknya perempuan2x disekitar kalian dan memaksa diri kalian untuk menikahi salah satu dari mereka, namun kesiapan kalian belum memadai untuk itu. Namun, janganlah dengan keadaan demikian, kalian menjadikan mereka berharap kepadamu dan mengizinkan mereka menunggumu, ketahuilah menunggu merupakan penderitaan bagi seorang wanita. Biarkanlah mereka menikah dan bertemu dengan jodohnya masing-masing tanpa terhalang dengan penantiannya terhadap dirimu di pada waktu yang tidak pasti. Yakinlah, jika saat ini saja begitu banyak yang mempesonakanmu, bukankah di suatu saat nanti ketika usiamu telah bertambah dan engkau telah siap maka Rahasia-rahasia Allah tentang seseorang yang lebih mempesonakanmu akan dipertemukan kepadamu dan engkau mendapatinya di tempat yang diberkahi dan penuh Rahmat, Pernikahan. Ingatlah, apakah Allah akan menyia-nyiakan usaha seseorang dalam menjaga dirinya? Insya Allah tidak, karena Allah tidak menyia-nyiakan perbuatan baik bagi hamba-hambaNya.
Insya Allah
Allahu Akbar!

Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar. Al-Azhab:35

Sesunggunya mereka yang beriman dan beramal saleh, tentulah Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalan(nya) dengan yang baik. Al-Kahfi:30

Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,
Ali Imran:133

Insya Allah
Semoga Allah Memaafkan aku Ketika aku Bersalah
Allahuma Amiin

Yakinlah dengan kemampuanmu

Dikisahkan di sebuah hutan, Sang Raja hutan mengadakan konferensi para binatang. Mereka ingin seluruh penghuni hutan memiliki keahlian dasar yang harus dimilki. Setelah melalui perdebatan panjang akhirnya diputuskan. Keahlian dasar yang wajib dimiliki oleh para penghuni  hutan adalah berenang, terbang, dan lompat.

Maka untuk meningkatkan keahlian itu, sepakat diadakan pelatihan. Di pekan pertama, ide itu mendapat sambutan yang luar biasa. Namun di pekan kedua dan selanjutnya terjadi perselisihan. "Ini pemaksaan. Ini bertentangan dengan dunia perbinatangan." kata sebagian besar binatang yang mengikuti pelatihan.

Mengapa itu terjadi? Karena gajah, singa, dan binatang besar lainnya dilatih untuk terbang dan tak pernah berhasil. Begitu pula burung, kelinci, kambing, dan binatang darat lainnya diminta untuk berenang dan juga tak pernah berhasil. Mereka semua stress karena harus mengerjakan sesuatu yang bukan keahliannya.


*Ini hanyalah dongeng, namun terdapat pelajaran berharga. Dimana bila kita stress dan gelisah seperti para binatang tersebut, mungkin karena selama ini kita dipaksa melakukan sesuatu yang bukan merupakan keahlian kita. Mari kita miliki jati diri dengan selalu melakukan sesuatu sesuai dengan keahlian kita. Keahlian yang kita kuasai, cintai, dan juga menghasilkan. Karena kita memang ditakdirkan berbeda satu dengan yang lain.